Skip to main content

Naik Kereta ke Kota Tua


Kota Tua
Sehari-hari saya selalu menggunakan motor untuk keperluan transportasi, baik ke kantor, ke rumah teman, atau sekadar ke warung. Motor menjadi pilihan karena begitu efisien, setidaknya hanya perlu keluar uang Rp 20 ribu, saya sudah bisa kemana-mana. Tapi tidak untuk hari ini, saya mencoba menggunakan kereta api.

Berangkat dari Stasiun Klender, saya menuju Stasiun Kota Tua. Tapi, saya turun terlalu cepat, di Stasiun Jayakarta. Maklum, ini adalah baru keempat kalinya menggunakan moda transportasi umum kereta api.

Pertama kali saya naik kereta ketika itu usai turun dari Gunung Gede, Jawa Barat. Kala itu, naik dari Stasiun Bogor menuju Stasiun Lenteng Agung. Kedua kalinya, dari Stasiun Sudimara ke Stasiun Kebayoran Lama menuju Mayestik. Ketiga, Stasiun Tebet menuju Stasiun Depok Baru, saat ingin liputan Piala AFF 2016, di Stadion Pakansari, Cibinong. Saya turun di Depok Baru karena sudah atur janji dengan rekan kerja.

Mengapa saya berangkat ke Kota Tua dari Stasiun Klender? Awalnya begini, hari sebelumnya saya dan teman saya asik ngborol ngalur-ngidul yang, entah bagaimana, topiknya tiba-tiba membahas soal jalan-jalan naik kereta. Kemudian ditemukanlah kesepakatan untuk suatu hari nanti, kita akan pergi berdua menggunakan kereta.

Esok harinya, secara mendadak, rencana tersebut terlaksana lebih cepat. Sebab, teman saya itu sebenarnya ingin pergi dengan sanak saudaranya, namun batal.

"Daripada sudah rapih enggak jadi pergi, gimana kalau kita yang pergi ke Kota Tua naik kereta?" ajak saya. "Yuk," jawabnya.

Karena saya belum berpengalaman naik kereta, maka diputuskan untuk berangkat dari Stasiun Klender dengan saya jemput ia lebih dulu ke rumahnya di Klender.

Singkat cerita, rencana awal sebenarnya kita ingin berhenti di setiap tempat transit, tujuannya, agar saya paham rute-rute kereta api di Jakarta. Tetapi urung dilakukan karena lebih menghemat biaya dan waktu. Saya meminta ia menceritakan di mana saja tempat-tempat transit yang ada dan kemana tujuannya.

"Kamu tahu banget ya anaknya?", tanya saya. "Aku kan Anker (anak kereta)," katanya. Sebutan sejenis pernah saya dengar, yakni Roker (rombongan kereta).

Dalam hal urusan naik kereta ia lebih paham rutenya, tapi untuk pergi ke Kota Tua, kami berdua sama-sama baru pertama kali. Kurangnya pengalaman, membuat kita harus turun lebih cepat: yang seharusnya turun di Stasiun Kota Tua, kita justru turun di Stasiun Jayakarta. Tapi kita tidak hilang akal, kita putuskan untuk naik kendaraan roda tiga, BBG.

"Rp 20 ribu," kata si sopir menawarkan harga. "Kemahalan, Rp 15 ribu," tawar saya, dan kita menuju Kota Tua.

Sesampai di sana, rupanya musim liburan seperti sekarang, kota yang berjuluk Batavia Lama ini, padat pengunjung. Cuaca hari ini begitu menyengat dengan sesekali disertai mendung. Kebetulan, teman saya ini tidak terlalu tahan dengan keramaian. Ia mengaku suka pusing kalau di tempat yang pada orang-orang.

Setelah berjalan-jalan sebentar, kita putuskan untuk istirahat sebentar, makan kerak telor. Sebelum untuk lanjut lagi menuju Museum Wayang. Di sana, kita berdua juga sempat mampir ke Masjid Istiqlal.

Wayang Si Unyil di Museum Wayang
Menuju Istiqlal, kita sempat ingin kembali naik BBG, tetapi emoh, harga yang ditawarkan si sopir terlalu mahal, Rp 50 ribu dari Kota Tua. Keblinger Ndasmu! Kita naik kereta saja ke Istiqlal, turun di Stasiun Juanda dan hanya tinggal menyebrang dari situ.

Usai dari Istiqlal kita berangkat pulang. Kondisi pulang penumpang lebih ramai ketimbang saat pergi. Saya tidak membayangkan kalau ini terjadi di jam-jam kerja, pasti akan lebih ramai dari ini. Padahal saya berniat untuk menjadi Anker atau Roker saat ke kantor. Ya Tuhan, kuatkanlah tekad hambamu.

Berbeda ketika pergi, saat pulang kita mesti transit dahulu di Stasiun Manggarai. Di sini, dan seperti tempat-tempat transit lainnya, begitu banyak manusia. Lagi-lagi tekad saya goyah untuk menggunakan ke kantor dengan kereta. Bahkan, keretanya sempat tertunda sekitar 20 menit sebelum akhirnya kembali bergegas menuju Stasiun Klender, tempat awal kita berangkat.

Teman saya raut mukanya sudah enggak karu-karuan, tegang, kesal, bosan, sesekali jutek --walaupun coba ditutup-tutupi dengan tersenyum. Tetap saja tidak bisa bohongi. Ia itu kalau sudah capek bawaannya marah-marah terus.


Teman saya yang sudah capek, tapi masih sadar kamera :|
Pada akhirnya kita sampai juga di rumah. Betis kaki kencang semua. Maklum, saya sudah lama tak berolahraga. Sekitar pukul delapan malam saya tiba.

Sebetulnya banyak hal-hal seru yang bisa didapatkan saat menggunakan kereta api. Misalnya, hamparan manusia-manusia egois ada di sana, manusia yang merasa hanya mereka yang ingin pulang dan punya rumah, atau  manusia yang merasa paling capek se-bumi sehingga tempat-tempat duduk prioritas jadi sandaran pantat mereka, padahal tidak seharusnya.

Setelah perjalanan yang lumayan hari ini, saya tertarik untuk menggunakan kereta api sebagai transportasi sehari-hari ke kantor. Tapi, apakah saya siap untuk berdesak-desakan? Nanti akan ceritakan lagi kalau sudah terlaksana

Oya, terima kasih untuk teman saya karena mau mengajari bagaimana naik kereta api. :)

Comments

Popular posts from this blog

Puisi Joko Pinurbo: Kamus Kecil

sumber: kompasiana.com Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu Walau kadang rumit dan membingungkan Ia mengajari saya cara mengarang ilmu Sehingga saya tahu Bahwa sumber segala kisah adalah kasih Bahwa ingin berawal dari angan Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba Bahwa segala yang baik akan berbiak Bahwa orang ramah tidak mudah marah Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih Bahwa seorang bintang harus tahan banting Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila Bahwa orang putus asa suka memanggil asu Bahwa lidah memang pandai berdalih Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman Bahasa Indonesiaku yang gundah Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat Ketika induk kalimat bilang pu...

Gundul-gundul Pacul: Sebuah Nasihat Kepemimpinan

sumber: indoagribiz.com Nenek moyang kita punya banyak cara mengajarkan tentang arti kehidupan. Ada yang lewat laku, nasihat, ataupun tulisan. Namun tak sedikit juga yang mengajarkan melalui media musik. Dipilihnya musik mungkin sebagai media paling efisien, karena musik banyak didengarkan oleh orang-orang dan mudah diterima. Namun para nenek moyang atau pendahulu kita tak sembarangan dalam menghasilkan lagu. Mereka sangat memperhitungkan maksud dan tujuan dari lagu yang dihasilkan sehingga memunculkan syarat makan mendalam di baliknya. Seperti Gundul-gundul pacul, misalnya. Lagu yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini lebih dikenal sebagai lagu anak-anak --dan berdasarkan cerita lagu ini memang sengaja "dititipkan" kepada anak-anak. Namun di balik itu sebenarnya Gundul-gundul pacul punya makna nasihat kepemimpinan. Gundul gundul pacul, cul, gembelengan. Kata pertama yang disebut dalam lagu ini, yakni "gundul", atau kepala yang tak memiliki rambut. Kita tah...