Skip to main content

Gebetan dalam Statistik



Kalau biasanya long weekend adalah waktu yang tepat untuk berlibur dengan keluarga, teman, ataupun pacar, itu tidak berlaku buat saya. Iya karena jomblo akut menahun, saya habiskan long weekend di kantor.

Sekali lagi iya, saya habiskan waktu di kantor untuk mengejar berita dan deadline tulisan tanpa gangguan sedikit pun --karena tidak ada aktivitas chatting dengan teman perempuan, apalagi gebetan. Masih banyakkah manusia seperti saya di bumi ini? Atau tinggal saya seorang?

Karena saya muak dengan apa yang saya kerjakan di kantor, lebih baik saya cerita hal ini saja: gebetan!

Belum lama, secara tumben-tumbenan, ibu saya tercinta menghubungi via telpon dan bilang paman saya datang jauh dari Tasikmalaya ke rumah. "Uwa tadi ke rumah, nanyain kamu, sudah punya pacar atau belum," ibu menceritakan.

"Haha," jawab saya.

Pembaca yang bijaksana, perlukah saya jelaskan arti dari jawaban saya? Tentu tidak, bukan?

Lebih jauh ibu bercerita, kalau kakak pertamanya itu ingin mengenalkan anak perempuan kerabatnya kepada saya. "Mau enggak tuh?" tanya ibu ingin memastikan.

"Ya silakan," jawab saya datar --tapi ngarep.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian, saya diberi unjuk sebuah foto seorang perempuan yang ingin dikenalkan kepada saya --berikut dengan nomor teleponnya. "Manis," kata saya dalam hati.

Sebetulnya, saya memiliki dilema dalam soal ini. Pertama, secara naluriah, sebagai laki-laki, siapa yang tak ingin memiliki tambatan hati yang manis macam itu --bagaimana gambaran fisiknya, kalian bayangkan saja perempuan cantik sesuai selera. Kedua, apakah kedua ibu saya mulai meragukan kejantanan dan ke-normal-an saya? Dengan kata lain, mungkinkah ibu saya meragukan orientasi seksual saya?

Saya, sebagai laki-laki, diragukan adalah pantangan. Terlebih, dalam hal jodoh, segala mesti lewat pihak ketiga.

Memang, saya selalu punya masalah mendekati perempuan. Secara statistik, lebih dari 10 perempuan yang saya dekati --tanpa bantuan pihak ketiga-- hanya sekali yang berhasil. Itu pun terjadi saat saya masih SMP, 12 tahun lalu. Sedangkan, dari lima kali pacaran, empat di antaranya sukses karena pihak ketiga. Keblinger Ndasmu!

Seperti sepak bola, statistik selalu berbicara banyak. Tetapi juga bukan hidup namanya kalau statis. Apakah untuk kali ini saya berhasil dan memecahkan telor ke-jomblo-an saya?

Saya akan update ditulisan berikutnya.

bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Puisi Joko Pinurbo: Kamus Kecil

sumber: kompasiana.com Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu Walau kadang rumit dan membingungkan Ia mengajari saya cara mengarang ilmu Sehingga saya tahu Bahwa sumber segala kisah adalah kasih Bahwa ingin berawal dari angan Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba Bahwa segala yang baik akan berbiak Bahwa orang ramah tidak mudah marah Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih Bahwa seorang bintang harus tahan banting Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila Bahwa orang putus asa suka memanggil asu Bahwa lidah memang pandai berdalih Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman Bahasa Indonesiaku yang gundah Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat Ketika induk kalimat bilang pu...

Naik Kereta ke Kota Tua

Kota Tua Sehari-hari saya selalu menggunakan motor untuk keperluan transportasi, baik ke kantor, ke rumah teman, atau sekadar ke warung. Motor menjadi pilihan karena begitu efisien, setidaknya hanya perlu keluar uang Rp 20 ribu, saya sudah bisa kemana-mana. Tapi tidak untuk hari ini, saya mencoba menggunakan kereta api. Berangkat dari Stasiun Klender, saya menuju Stasiun Kota Tua. Tapi, saya turun terlalu cepat, di Stasiun Jayakarta. Maklum, ini adalah baru keempat kalinya menggunakan moda transportasi umum kereta api. Pertama kali saya naik kereta ketika itu usai turun dari Gunung Gede, Jawa Barat. Kala itu, naik dari Stasiun Bogor menuju Stasiun Lenteng Agung. Kedua kalinya, dari Stasiun Sudimara ke Stasiun Kebayoran Lama menuju Mayestik. Ketiga, Stasiun Tebet menuju Stasiun Depok Baru, saat ingin liputan Piala AFF 2016, di Stadion Pakansari, Cibinong. Saya turun di Depok Baru karena sudah atur janji dengan rekan kerja. Mengapa saya berangkat ke Kota Tua dari Stasiun Kle...

Gundul-gundul Pacul: Sebuah Nasihat Kepemimpinan

sumber: indoagribiz.com Nenek moyang kita punya banyak cara mengajarkan tentang arti kehidupan. Ada yang lewat laku, nasihat, ataupun tulisan. Namun tak sedikit juga yang mengajarkan melalui media musik. Dipilihnya musik mungkin sebagai media paling efisien, karena musik banyak didengarkan oleh orang-orang dan mudah diterima. Namun para nenek moyang atau pendahulu kita tak sembarangan dalam menghasilkan lagu. Mereka sangat memperhitungkan maksud dan tujuan dari lagu yang dihasilkan sehingga memunculkan syarat makan mendalam di baliknya. Seperti Gundul-gundul pacul, misalnya. Lagu yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini lebih dikenal sebagai lagu anak-anak --dan berdasarkan cerita lagu ini memang sengaja "dititipkan" kepada anak-anak. Namun di balik itu sebenarnya Gundul-gundul pacul punya makna nasihat kepemimpinan. Gundul gundul pacul, cul, gembelengan. Kata pertama yang disebut dalam lagu ini, yakni "gundul", atau kepala yang tak memiliki rambut. Kita tah...