Skip to main content

Naik Kereta ke Depok

Mumpung masih edisi libur lebaran, saya coba kembali naik kereta. Berawal dari rencana untuk ziarah ke makam salah satu kawan kuliah dulu, di kawasan Depok, Jawa Barat, saya memutuskan untuk pergi dengan kereta. Catatan, ini penting: saya pergi sendiri!

Berangkat dari Stasiun Sudimara menggunakan ojek daring menuju Stasiun Tanah Abang untuk transit dan melanjutkan naik kereta ke arah Bogor.

Kebetulan, hari ini, hari Jumat dan kereta cukup ramai, atau dengan kata lain saya tidak kedapatan tempat duduk. Dari kereta-kereta lain yang pernah saya tumpangi, kereta dari Sudimara agak sedikit berbeda. Kereta ini memiliki semacam video tron di dalamnya. Di situ banyak menyangkan iklan-iklan berbagai kementerian, atau juga iklan lainnya.

Sebenarnya iklannya sih tidak bagus-bagus amat, menurut saya. Tapi cukup lumayan untuk mengalihkan perhatian karena pegal berdiri. Sesekali tayangan video itu memuat trivia-trivia menarik. Tentang fakta-fakta hewan terkuat di dunia, misalnya.

Menuju tempat tujuan, saya turun di Stasiun Tanjung Barat. Di sana, saya dijemput kawan saya yang juga ingin ikut ziarah. Singkat cerita sampailah kami di tempat tujuan.

Di pemakaman, kerinduan bersama almarhum teman saya menguak --tidak akan saya ceritakan banyak di sini. Dia orang paling unik yang pernah saya kenal. Satu yang tak pernah lupa, punya cita-cita dapat warisan, yang dicita-citakannya sejak masuk kuliah. Buat beli mobil Rubicorn, katanya.

"Kalau nggak, beli rumah  di Menteng. Tanahnya saja dulu," katanya sambil cengengesan.

Teman saya juga hebat, dia sudah menuntaskan tugas-tugasnya dengan apik: menyelesaikan skripsi lalu lekas berpulang. Ringan sudah bebannya.

Saya juga pernah sedikit menulis tentang almarhum. Semacam persembahan terakhir. Begini isinya:

Kini Pejuang itu Tak Lagi Penasaran

Menjadi sarjana adalah mimpinya. Mimpi yang tak pernah digapainya dengan mudah.

Cobaan demi cobaan mengiringinya. Kesakitan demi kesakitan setia menemaninya.

Pria yang baik. Terlalu baik. Cobaan dan kesakitan dirangkul bersamaan menemaninya berjuang. Demi satu mimpi: Menjadi  sarjana.

Hari demi hari dilalui. Berjibaku raih mimpi tanpa lelah, kadang juga ingin menyerah. Sampai pada hari itu. Hari di mana mimpinya terwujud nyata. Sumringah raut wajahnya tak lagi bisa terpendam.

"Gua sarjana, Boy!" ungkapnya riang. "Hebat, kau!" Balasku bersenandika.

Suka tidak suka, senang tidak senang, setuju tidak setuju,  sepakat atau tidak sepakat dia pejuang sebenarnya. Sebenar-benarnya pejuang.

Dia bukan pejuang koar-koar untuk ganyang koruptor, atau bukan juga teriak-teriak anti kekafiran. Dia pejuang keluarga. Berjuang untuk ayah ibunya. Pewujud mimpi orang tuanya.

Berjuang melawan rasa sakit demi satu kewajiban. Kewajiban bahagiakan orang di sekelilingnya.

Pejuang untuk kawan-kawannya. Kawan dengan seribu kebosanannya.

Namun kini, pejuang itu tak lagi penasaran.

Selamat jalan pejuang kami.

Comments

Popular posts from this blog

Puisi Joko Pinurbo: Kamus Kecil

sumber: kompasiana.com Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu Walau kadang rumit dan membingungkan Ia mengajari saya cara mengarang ilmu Sehingga saya tahu Bahwa sumber segala kisah adalah kasih Bahwa ingin berawal dari angan Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba Bahwa segala yang baik akan berbiak Bahwa orang ramah tidak mudah marah Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih Bahwa seorang bintang harus tahan banting Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila Bahwa orang putus asa suka memanggil asu Bahwa lidah memang pandai berdalih Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman Bahasa Indonesiaku yang gundah Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat Ketika induk kalimat bilang pu...

Naik Kereta ke Kota Tua

Kota Tua Sehari-hari saya selalu menggunakan motor untuk keperluan transportasi, baik ke kantor, ke rumah teman, atau sekadar ke warung. Motor menjadi pilihan karena begitu efisien, setidaknya hanya perlu keluar uang Rp 20 ribu, saya sudah bisa kemana-mana. Tapi tidak untuk hari ini, saya mencoba menggunakan kereta api. Berangkat dari Stasiun Klender, saya menuju Stasiun Kota Tua. Tapi, saya turun terlalu cepat, di Stasiun Jayakarta. Maklum, ini adalah baru keempat kalinya menggunakan moda transportasi umum kereta api. Pertama kali saya naik kereta ketika itu usai turun dari Gunung Gede, Jawa Barat. Kala itu, naik dari Stasiun Bogor menuju Stasiun Lenteng Agung. Kedua kalinya, dari Stasiun Sudimara ke Stasiun Kebayoran Lama menuju Mayestik. Ketiga, Stasiun Tebet menuju Stasiun Depok Baru, saat ingin liputan Piala AFF 2016, di Stadion Pakansari, Cibinong. Saya turun di Depok Baru karena sudah atur janji dengan rekan kerja. Mengapa saya berangkat ke Kota Tua dari Stasiun Kle...

Gundul-gundul Pacul: Sebuah Nasihat Kepemimpinan

sumber: indoagribiz.com Nenek moyang kita punya banyak cara mengajarkan tentang arti kehidupan. Ada yang lewat laku, nasihat, ataupun tulisan. Namun tak sedikit juga yang mengajarkan melalui media musik. Dipilihnya musik mungkin sebagai media paling efisien, karena musik banyak didengarkan oleh orang-orang dan mudah diterima. Namun para nenek moyang atau pendahulu kita tak sembarangan dalam menghasilkan lagu. Mereka sangat memperhitungkan maksud dan tujuan dari lagu yang dihasilkan sehingga memunculkan syarat makan mendalam di baliknya. Seperti Gundul-gundul pacul, misalnya. Lagu yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini lebih dikenal sebagai lagu anak-anak --dan berdasarkan cerita lagu ini memang sengaja "dititipkan" kepada anak-anak. Namun di balik itu sebenarnya Gundul-gundul pacul punya makna nasihat kepemimpinan. Gundul gundul pacul, cul, gembelengan. Kata pertama yang disebut dalam lagu ini, yakni "gundul", atau kepala yang tak memiliki rambut. Kita tah...