Skip to main content

Sepenggal Kalimat dari Ayahku


Tulisan ini adalah salinan surat yang saya tuliskan kepada seseorang yang berulang tahun hari ini. Kebetulan ia sedang bergelut dengan skripsinya. Putus asanya, dengan judul semula, berada di titik nadir.

Berikut isi suratnya:

***

Tahukah apa yang paling menyebalkan dari kuliah? Mengerjakan skripsi! Dan tahukah apa yang paling menjengkelkan dari mengerjakan skripsi? Ya mengerjakan skripsi itu!

Skripsi itu amat sangat menjengkelkan karena kita harus taat terhadap aturan-aturan tertulis yang sering kali tak sederhana. Belum lagi harus menghadapi aturan tidak tertulis seperti pemahaman isi kepala dosen yang tidak pernah mau sama demi kemudahan murid-muridnya. Membingungkan!

Sebelum dilanjutkan, di kotak itu ada sebungkus coklat dan minuman coklat hangat untuk menahan rasa mual atau pusing karena membaca tulisan ini. Karena tulisan ini bakal berisi temuan tak ilmiah paling terkenal yang lahir dari Kota Tel-Aviv, Israel, --versi lainnya disebutkan lahir di Nganjuk, Jawa Timur-- bernama Teori Omong Kosong.

Dua tahun mengerjakan skripsi --sempat terlantar seperti anak kucing yang ditinggal induknya main serong dengan jantan milik tetangga-- ku hampir tidak menemukan faedahnya. Kecuali satu, proses.

Lupakan apa yang didapat dari skripsi itu sendiri secara teknis dan pengetahuan. Di luar itu, pengalaman yang secara pribadi aku dapat adalah bagaimana menikmati proses.

Mengerjakan skripsi itu butuh kesabaran tingkat Nabi. Di saat yakin akan selesai tepat waktu, nyatanya tidak. Di saat percaya teori ini cocok dengan studi kasus, rupanya keliru. Di kala ingin mantap dengan judul semula, faktanya jalan buntu. Di waktu ingin ganti judul, dirasa sayang. Biadab betul rasanya. Hilang sudah kepercayan diri. Ngedumel jadi hobi baru. Muntablah jiwa kita.

Saking kesalnya, folder khusus skripsi di laptop aku beri nama "Bajingan, mampuslah kamu!"

Ayah-ibu di rumah juga tak pernah kehabisan kata untuk bilang, "Sudah sampai mana skripsinya?", "Kapan selesai skripsinya?", atau, paling bikin naik pitam, "Dikerjakan nggak sih skripsinya?". Semuanya disebut tanpa tedeng aling-aling: lugas dan mantap!

Tapi, bukan tidak ada cerita humanis di balik itu. aku mendadak merasa menjadi raja kecil di rumah. Semua dilayani dengan romantis. Tiba-tiba ada kopi di meja belajar, mendadak ada martabak di sebelah keyboard. Uang jajan bisa jadi dua lembar, kadang-kadang. Telepon jadi lebih sering berbunyi, dan ada suara yang bilang, "Gimana bimbingannya?", "Hari ini jadi ke kampus?", enggak jarang juga, "Jangan lupa makan." Ah, bahagianya!

Walaupun tidak semuanya jadi membuat cepat selesai juga. Tapi paling enggak jadi ingin tetap mengerjakan.

Menyingkat kalimat, pada akhirnya skripsi aku kelar. Kelar sekelar-kelarnya! Di menit-menit akhir! Fiuh... Tapi, tunggu dulu, seperti tadi, hidup itu iseng sekali kalau sudah menguji kesabaran orang: aku belum bisa daftar sidang!

Padahal waktu itu semua syarat sudah aku penuhi, tapi aku nggak tahu kalau ternyata ada satu syarat yang harus mensyaratkan mengumupulkan skripsi minimal empat bundel. Jalan satu-satunya tinggal photocopy. Dan kamu tahu, di dompet hanya ada sekian belas ribu, untuk beli nasi padang saja tak cukup, beli bensin tak sampai penuh!

Naas, saat itu aku enggak ketemu siapa-siapa untuk pinjam uang. Menunda satu semester lagi mau nggak mau, suka nggak suka, mesti dilewati.

Singkat cerita, akhirnya aku sidang di jadwal terakhir hari Jumat. Sebelum bagaimana sidang berjalan, aku cerita sedikit saat menjalani hari-hari sebelum sidang, satu hari sebelumnuya.

Hari itu, hari kamis, menjadi hari paling lama dalam hidup. Jarum jam terasa lambat sekali beranjak, sambil meledek, "Cie besok sidang, deg-degan nih ye." Kurang ajar, bukan? Dongkol bukan main. Bahkan sampai jam setengah 3 pagi aku dibuat merasa seperti itu.

Sambil menunggu kantuk, belajarlah sedikit, bolak-balik baca skripsi --dengan rasa sangat malas-- yang tebalnya lebih dari 100 halaman. Sambil kira-kira pertanyaan macam apa yang bakal keluar, dan mengingat-ingat gaya dosen penguji saat sedang menguji. Lalu membuat sedikit contekan di kertas. Ah iya, hanya sebatas saran, sebelum sidang cobalah untuk menonton sidang sambil mempelajari pertanyaan dan gaya si penguji.

Tibalah waktu paling mendebarkan. Menurut jadwal, waktu itu, sidang dimulai pukul tiga sore hari Jumat. Tetapi baru dimulai sekitar pukul empat. Padahal jantung sudah enggak karu-karuan, keringat sebesar jagung di jidat sudah kelewat batas, pucat pasih. Rasanya kayak mau mati --dengan cara ditembak atau ditusuk.

Tertunda satu semester lewat satu jam, ternyata ada manfaatnya juga. Pertanyaan-pertanyaan dosen bisa aku jawab dengan lihai. Semua prediksi pertanyaan setengahnya muncul di kertas contekan. Sidang berjalan cuma 40 menit. Revisi hanya tinggal tambah yang perlu-perlu saja. Takbir!

Lepas sidang, perasaan menjadi agak lega campur cendol haru. Senyum-senyum sendiri tak sudah-sudah. Kering gigi ini. Aku kabari ke semua orang: Bentar lagi aku sarjana (enam setengah tahun)!

Kabar sampai ke ayah. Dia telepon, sekali dua kali tapi tak terangkat. Ketiga kalinya baru aku jawab. Dia bertanya bagaimana sidangnya, aku jawab lancar.

Sampai pada akhirnya keluarlah kalimat terindah yang baru pertama kali aku dengar: menyerbu merdu di kuping; menggetarkan hati. Lebih menyentuh dari syair-syair Joko Pinurbo, lebih merdu dari suara Chrisye, atau lebih syahdu dari ceramah Jumatan. Kalimat itu yang membuat aku jadi tahu bahwa sebuah hasil tak melulu dinilai dari materi. Kalimat itu yang membuat aku sadar kalau kita enggak akan pernah sendiri.

Kalau diingat-ingat, dirasa-rasa, bagaimana nadanya, bagaimana intonasinya, dan bagaimana dia berucap tak kuasa rasanya harus menahan tangis. Mataku sekejap berkaca-kaca waktu itu. Kalau andai tidak di tempat keramaian, pasti nangis tersedu-sedan.

Sepenggal kalimat dari ayahku: "Terima kasih ya, nak."

Dan kalau harus diminta membuat skripsi lagi dengan imbalan ucapan itu, enggak akan pikir dua kali, aku mau mengerjakan lagi.

Kenapa kalimat itu begitu menyentuh? Secara logika, seharusnya --bahkan sepatutnya-- aku yang mesti berterima kasih kepada beliau karena sudah menyekolahkan dari dasar hingga sarjana. Coba hitung --dengan tanpa uang jajan-- berapa biaya sekolah, biaya seragam, dan biaya-biaya lainnya yang sering tidak diduga? Belum lagi kenakalan-kenakalan remaja yang amit-amit kalau diingat-ingat. Tetapi ayah tetap berterima kasih ke aku. Dan tetapi, begitulah dia.

Baiklah, kamu mulai bosan baca ini. Dan mulai bertanya-tanya apa hubungannya dengan hadiah empat buku itu.

Sejujurnya tidak ada. Buku itu tidak akan membantu sama sekali untuk kamu cepat menyelesaikan skripsi, atau cepat mendapat ucapan serupa dari ayah-ibumu.

Tetapi aku harap, setidaknya, buku itu bisa membantu meregangkan saraf-saraf otak yang mulai kencang dan hampir putus gara-gara terlalu penat mengerjakan skripsi, ditambah kegiatan-kegiatan lain di luar kampus. Itu pun semoga.

Terakhir, tulisan ini, buku itu, hanyalah semacam kepedulian yang bisa aku kasih, meski tidak sehebat ayah-ibumu. Atau semacam kepedulian yang ikhlas, meski tidak semewah orang lain. Mungkin juga semacam kepedulian yang sederhana dengan tidak peduli bagaimana kamu membalasnya. Ini mungkin paling tepat, semacam kepedulian yang bisa aku kasih, walau belum bisa memenuhi keinginanmu, Nan.

Lalu, selamat ulang tahun untuk dirimu dan mari kita berbahagia. (:

Comments

Popular posts from this blog

Puisi Joko Pinurbo: Kamus Kecil

sumber: kompasiana.com Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu Walau kadang rumit dan membingungkan Ia mengajari saya cara mengarang ilmu Sehingga saya tahu Bahwa sumber segala kisah adalah kasih Bahwa ingin berawal dari angan Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba Bahwa segala yang baik akan berbiak Bahwa orang ramah tidak mudah marah Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih Bahwa seorang bintang harus tahan banting Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila Bahwa orang putus asa suka memanggil asu Bahwa lidah memang pandai berdalih Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman Bahasa Indonesiaku yang gundah Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat Ketika induk kalimat bilang pu...

Naik Kereta ke Kota Tua

Kota Tua Sehari-hari saya selalu menggunakan motor untuk keperluan transportasi, baik ke kantor, ke rumah teman, atau sekadar ke warung. Motor menjadi pilihan karena begitu efisien, setidaknya hanya perlu keluar uang Rp 20 ribu, saya sudah bisa kemana-mana. Tapi tidak untuk hari ini, saya mencoba menggunakan kereta api. Berangkat dari Stasiun Klender, saya menuju Stasiun Kota Tua. Tapi, saya turun terlalu cepat, di Stasiun Jayakarta. Maklum, ini adalah baru keempat kalinya menggunakan moda transportasi umum kereta api. Pertama kali saya naik kereta ketika itu usai turun dari Gunung Gede, Jawa Barat. Kala itu, naik dari Stasiun Bogor menuju Stasiun Lenteng Agung. Kedua kalinya, dari Stasiun Sudimara ke Stasiun Kebayoran Lama menuju Mayestik. Ketiga, Stasiun Tebet menuju Stasiun Depok Baru, saat ingin liputan Piala AFF 2016, di Stadion Pakansari, Cibinong. Saya turun di Depok Baru karena sudah atur janji dengan rekan kerja. Mengapa saya berangkat ke Kota Tua dari Stasiun Kle...

Gundul-gundul Pacul: Sebuah Nasihat Kepemimpinan

sumber: indoagribiz.com Nenek moyang kita punya banyak cara mengajarkan tentang arti kehidupan. Ada yang lewat laku, nasihat, ataupun tulisan. Namun tak sedikit juga yang mengajarkan melalui media musik. Dipilihnya musik mungkin sebagai media paling efisien, karena musik banyak didengarkan oleh orang-orang dan mudah diterima. Namun para nenek moyang atau pendahulu kita tak sembarangan dalam menghasilkan lagu. Mereka sangat memperhitungkan maksud dan tujuan dari lagu yang dihasilkan sehingga memunculkan syarat makan mendalam di baliknya. Seperti Gundul-gundul pacul, misalnya. Lagu yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini lebih dikenal sebagai lagu anak-anak --dan berdasarkan cerita lagu ini memang sengaja "dititipkan" kepada anak-anak. Namun di balik itu sebenarnya Gundul-gundul pacul punya makna nasihat kepemimpinan. Gundul gundul pacul, cul, gembelengan. Kata pertama yang disebut dalam lagu ini, yakni "gundul", atau kepala yang tak memiliki rambut. Kita tah...