1. Tidak ada malapetaka 15 Januari. Gerakan 15 Januari adalah shock therapy untuk RI yang sudah mulai parah penyakitnya. Adapun Malari adalah momenklatur diagnosis dari para penguasa yang tak merasa sakit dengan penyakitnya dan merasa sehat dalam penyakitnya.
2. Dalam bahasa Arab, "Ma" artinya "tidak", khusus untuk bertemu kata kerja lampau. "Ma" artinya juga "bukan", kalau bertemu kata benda, konkret maupun abstrak. Adapun "La" artinya adalah "tidak", untuk kata kerja sedang atau sekarang. Maka Malari berarti dua kali tidak RI dan satu kali bukan RI.
Tidak RI konteksnya waktu, bukan RI spektrumnya ruang. Tidak RI artinya tidak mengerjakan sesuatu yang menandakan bahwa dia RI. Bukan RI artinya karena tidak pernah bekerja sebagai RI, dengan RI, dan untuk RI. Maka akhirnya dia benar-benar menjadi bukan RI.
3. Bukan RI bahasa Arabnya "Ma RI", tidak RI bahasa Arabnya "La RI". Jadi, "Ma RI wa La RI" disingkat Malari. Ini semua bukan RI karena melihat perilakunya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia RI. Setahu saya bukan ini yang dulu diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta.
Kalau kita lihat pendek jangkauan pikirannya, kalau kita lihat dangkal internalisasi intelektualnya, melihat pendek pencapaian rasionalnya sama sekali tidak tercermin bahwa ini semua adalah RI.
Apalagi melihat selera artistiknya yang sangat rendah dalam memilih pemimpin. Melihat terlalu gampangnya mereka ditipu. Terlalu rentannya terhadap disinformasi. Terlalu gampangnya untuk kagum dan terpesona. Terlalu ringkihnya ditelan oleh pencitraan. Dan terlalu kerdilnya diperdaya oleh pemalsuan.
4. Apalagi, melihat semakin lemahnya mental mereka. Melihat ringkihnya jiwa mereka. Langsung mereka dengan mudah ditelan sihir-sihir nasional dan gendang serta sirep global.
Apalagi kalau melihat sinismenya mereka yang levelnya sudah sakit jiwa terhadap kebaikan, kesucian, dan ketulusan. Tidak mungkin kayak sekarang ini adalah RI. Ini pastilah "Ma RI wa La RI".
Apalagi melihat penolakannya yang mendalam terhadap kebhinnekaan, penolakan diam-diam maupun terang-terangan. Pernyataan penerimaan yang muatannya adalah penolakan. Ekspresi kebutuhan dan kebersamaan yang ternyata isi di dalamnya adalah kebencian dan permusuhan.
Apalagi kalau kita melihat situasi semakin tidak saling percaya di antara mereka, antarmanusia, kelompok, dan lembaga-lembaga. Melihat semua orang tidak bisa lagi dipercaya karena memang setiap orang semakin tidak bisa dipercaya.
Setiap orang di panggung memegang mikrofon dan berteriak, "Saya untuk Indonesia... Saya untuk Indonesia!" Tetapi yang ia lakukan adalah Indonesia untuk saya. "Kami hati rakyat, kami bekerja utuk rakyat!" Tetapi praktik sehari-harinya merampok Indonesia untuk golongannya.
5. Apalagi melihat pemalsuannya yang habis-habisan terhadap persatuan dan kesatuan. Manipulasi pemahaman terhadap pembangunan. Tipu daya pengertian tentang kemajuan. Anak-anak cucu-cucu yang belum lahir dicampakkan ke dalam jurang utang. Undang-undang dan peraturan diciptakan untuk mempermudah dan melegalisir perampokan.
Alkisah, konon, syahdan, sebenarnya itu bukanlah RI. Itu pasti "Ma RI wa La RI".
Belum lagi tiang listrik pun dipatahkan. Ditabrakkan. Teknologi pencurian tidak terjangkau oleh ilmu dunia. Strategi perampokan tak terpahamkan oleh ilmu pengetahuan sampai garda depan.
Syariat kemunafikan, tarikat hipokresi, makrifat kemusyrikan terhadap matematika yang suci terhadap rasionalitas yang sakral tidak pernah dibayangkan atau disimulasi bahkan oleh para malaikat maupun setan.
Yang menyebut dirinya RI ini: Iblis-iblis berpakaian malaikat, setan-setan berkostum Jibril, sesekali pakai kaos oblong supaya tampak Mikail. Terkadang, pakai sandal jepit agar terlihat seperti Israfil. Dan di saat lain masuk got sehingga bagaikan Izrail.
Nilai-nilai dijungkirbalikkan, jumlah korupsinya triliunan kali lipat dibanding yang direkomendasikan para setan. Sampai akhirnya Iblis, Panglima Setan, mengajukan pensiun dini. Sebab tahu diri ukuran godaan mereka kepada manusia untuk berbuat jahat lari dan ... sudah jauh dilampaui oleh "Ma RI wa La RI". Bahkan korupsinya sudah jauh merajalela sebelum proposal Iblis diajukan kepada manusia. Jadi mustahil kalau ini RI, ini bukan RI.
Senja semakin lingsir memasuki keremangan. Pagi beranjak siang. Siang memanjat sore. Senja menyodorkan dirinya ke kegelapan tetapi fajar membuntutinya. Cahayanya semburan di kerudung rahasia. Hidup adalah bergiliran kematian diiringi menetasnya kelahiran. Kebanyakan orang hari ini berduyun-duyun memasuki kuburan zaman bersamaan dengan sedikit orang lainnya yang dilatih mempersiapkan kelahiran yang sedang berkumpul hari ini (di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta). Tetapi mereka tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada yang berani membayangkan. Tidak ada yang nekat memimpikan. Tidak ada yang melihat mereka. Tidak ada yang menemukannya, dan tidak ada yang mempercayainya. Tetapi Mahasutradara jadad raya telah melahirkannya. Telah melahirkan mereka dengan dua bekal di kandungan jiwa dan aliran darahnya, yakni mereka dilahirkan karena Tuhan mencintainya dan mereka mencintai Tuhannya.
Hakikat "Ma RI wa La RI" adalah ambruk! Syariat "Ma RI wa La RI" adalah jebol dan terpuruk! Adapun tarikat RI yang sejati adalah kelahiran! Marifat RI yang benar-benar RI adalah kebangkitan!
Kemarin malam saya sowan ke Ratu Saba di Wonosobo. Tidak diterima, melainkan yang menerima saya Jin Ifrid. Saya juga sowan ke Ratu Sima di kawah Merapi. Yang keluar menerima saya malah Basiyo. Tetapi saya tidak putus asa, saya sowan ke Bu Ken Dedes yang cantik jelita bagai ibu pertiwi, yang sepanjang hidupnya diperistri secara paksa, diperkosa secara bergiliran, bahkan sekarang diperkosa bersama-sama.
Sebagai mana nasib RI yang terlunta-lunta menjadi "Ma RI wa La RI", tetapi yang membukakan pintu Kerajaan Barzah malah Asmuni. Asmuni bin Asfandi keturunan Ki Tebuireng yang dulu dicabut ilmunya dan di-maiyah-kan Mbah Ki Rompak. Tetapi tak masalah, saya manusia RI sejati.
Profesi saya adalah memanggul masalah. SOP hidup saya adalah mengatasi masalah dengan cara menambah masalah. Regulasi utama karier saya adalah berjuang menjadi manusia masalah. Dan kewajiban utama saya adalah memilih pemimpin yang bermasalah. kemudian mencita-citakan pemimpin baru yang lebih bermasalah. Dan akhirnya mengangkat pemimpin lain lagi yang ahli masalah. Dan puncaknya nanti semua bangsa yang bukan RI ini akan melantik masalah itu sendiri menjadi pemimpin tertinggi. Jadi, perjumpaan saya dengan Jif Ifrit, Basiyo, dan Asmuni bukan masalah. Tetapi tetap saya permasalahkan.
Saya bertanya kepada Jin Ifrit, "Mas Ifrit, tolong kasih tahu apa pendapat Ratu Saba di Wonosobo tentang RI." Dan saya bertanya ke Mbah Shio, "Mbah Shio tolong kasih tahu saya apa pandangan Bu Ratu Sima tentang RI." Dan saya bertanya ke Asmuni, "Bagaimana Bu Ken Dedes melihat RI?"
Jawaban mereka bertiga sama persis ......
Tapi tiba-tiba ada suara menyusuri jawaban itu, "Antum a'lamu bi umuri duniafi." Saya kaget dan menoleh ke sumber suara itu. Ya ampun, ternyata Sunan Tuban, Syeikh Malaya, Pangeran Abdurrahman, Brandal Lukajaya saya taklim kepada beliau. "Sendiko Kanjeng Sunan," kata saya.
Beliau tidak menyambut tetapi terus menyatakan jawabannya kepada saya yang tidak saya minta. "RI yang paling tahu urusan RI. Kamu tidak begitu RI, kamu tidak tahu apa-apa tentang RI. Tidak ada gunanya RI zaman now bertanya kepada RI zaman old. RI zaman now sudah mantap dengan takabur Republiknya. RI sudah yakin dengan pura-pura Pancasilanya. RI sudah gagah perkasa dengan pemalsuan demokrasinya. Dan lagi yang bertanya kepadaku adalah kamu! Sementara RI tidak bertanya apa-apa kepadaku. RI tidak butuh pertanyaan apalagi jawaban. RI tidak punya stok pertanyaan sehingga tidak membutuhkan jawaban."
Saya mencoba membantah, "Saya bertanya sebagai RI, Kanjeng Sunan."
Sunan Kalijaga berteriak, "Tapi kan kamu bukan RI! RI tidak mengenalmu, RI tidak mendegnar suaramu, apalgi melihat wajahmu! Bagi RI kamu tidak ada! Jangankan kamu, bagi RI Tuhan pun tidak ada, yang ada adalah Ketuhanan. Bagi RI apapun saja tidak ada, kecuali nafsu dan keserakahannya sendiri. Serta barang-barang yang dirasukinya. Bagi RI tidak ada Tuhan, malaikat, ataupun nabi. Bagi RI tidak ada akal, logika, apalagi Akhlak. Bagi RI tidak ada martabat, tidak ada harga diri. Bagi RI yang ada hanya satu, 'Wani piro?'. Maka RI hingga hisab di mana saja saya dapat apa, berani kasih mahar berapa. Telinga apa saja pikirannya berkata apa untungnya untuk saya. RI adalah tanah air yang tidak bernegara. Yang ada pada RI hanya pemerintah yang dipikirnya dia adalah negara. Yang ada di RI adalah pemerintah yang berpikirnya perusahaan. Dan di dalam pemerintahan hanya ada pejabat-pejabat dengan perusahaan-perusahaan kelompok dan pribadi masing-masing yang numpang di kantor-kantor pemerintahan. Yang ada di RI adalah sindikat-sindikat sistemik, struktural, yang bekerja mengakali negara dan merampok Tanah Air. RI sudah mantab, yakin, dan gagah dengan itu semua. Tidak ada manfaatnya kamu menemui para kami leluhur. Kami para orangtua hanya mendoakan agar kalian yang berkumpul di sini tetap mengingat kami agar supaya kalian tidak hancur."
6. Tetapi saya tetap tidak berputus asa. Sehingga saya bertanya, "Sunan, sebenarnya penyakit RI apa, toh? Konsitusinya? Sistemnya? Apa manusianya?"
Brandal Lukajaya menjawab, "Manusia merusak sistemnya, sistem merusak manusia."
"Apakah itu penyakit mental, budaya, atau spritual?"
Brandal Lukajaya menjawab, "Kalau yang sakit akal pikiran, namanya gila. Kalau yang sakit mental, sakit jiwa. Kalau yang sakit budaya, namanya edan. Kalau yang sakit spiritual, namanya jahiliyah. Kalau yang kamu alami sekarang adalah pra-jahiliyah. Jahiliyah pun belum. Hewan saja tidak serakah karena alam dan makhluknya sepenuhnya diremot oleh Tuhan. Hukum rimba sangat indah ekosistemnya. Hukum rimba sangat seimbang metabolismenya. Sedangkan hukum tidak punya keseimbangan. Dan hukum negara matanya juling, kakinya pincang. Di dalam hati mereka membengkan berbagai macam penyakit, dan Tuhan menambahi penyakit-penyakit mereka, lambat atau cepat. Demi keseimbangan dan penyeimbangan. Dan balasan akan tiba pada Jakarta. Balasan berupa hidayah bagi yang siap menerima atau azab bagi penghuni zona yang nyaman dalam pengingkaran kepada Tuhannya.
"Jadi, Kanjeng Sunan, apa yang harus saya lakukan? Atau apa sekurang-kurangnya yang harus saya katakan kepada RI sekarang ini?"
Sunan mengatakan, "Sama saja bagi mereka. Kamu omongin, ulangtahun Malari, atau kamu peringatkan mereka tidak dengarkan. Mereka tidak akan percaya kepadamu."
"Jadi, bagaimana?"
"Enggak usah bagiamana-bagaimana. Mereka picek, dableg, budek, buta, tuli tidak akan bisa kembali ..."
"Sebentar Kanjeng Sunan, mereka tidak bisa kembali kemana? Atau kembali kepada apa?"
"Tidak bisa kembali ke diri, paling pol... Tidak bisa kembali ke RI."
Saya tidak mau kalah, "Tapi saya tidak, lho, Kiai Brandal. Saya bersaksi tidak ada Tuhan Selain ALLAH. Saya bersaksi Muhammad adalah Duta Besar-Nya. Saya bersaksi ini semua yang aku alami akhir-akhir ini bukan RI. Dan kemudian saya bersaksi mustahil Tuhan membiarkan ini. Mustahil semua makhluk di semua Nusantara: malaikat, jin, leluhur, wali mustahil tidak cemas. Reformasi yang sejati akan terjadi. Apapun namanya, evolusi yang dipercepat, restorasi, rekonstruksi, revolusi, apapun akan menjadi isi zaman esok hari. "Ma RI wa La RI" semakin terjun ke kegelapan malam hari dan kamu semua dan anak-anak muda yang dicintai Tuhan dan mencinta Tuhan sudah semakin siap membangkitkan pagi hari."
2. Dalam bahasa Arab, "Ma" artinya "tidak", khusus untuk bertemu kata kerja lampau. "Ma" artinya juga "bukan", kalau bertemu kata benda, konkret maupun abstrak. Adapun "La" artinya adalah "tidak", untuk kata kerja sedang atau sekarang. Maka Malari berarti dua kali tidak RI dan satu kali bukan RI.
Tidak RI konteksnya waktu, bukan RI spektrumnya ruang. Tidak RI artinya tidak mengerjakan sesuatu yang menandakan bahwa dia RI. Bukan RI artinya karena tidak pernah bekerja sebagai RI, dengan RI, dan untuk RI. Maka akhirnya dia benar-benar menjadi bukan RI.
3. Bukan RI bahasa Arabnya "Ma RI", tidak RI bahasa Arabnya "La RI". Jadi, "Ma RI wa La RI" disingkat Malari. Ini semua bukan RI karena melihat perilakunya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia RI. Setahu saya bukan ini yang dulu diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta.
Kalau kita lihat pendek jangkauan pikirannya, kalau kita lihat dangkal internalisasi intelektualnya, melihat pendek pencapaian rasionalnya sama sekali tidak tercermin bahwa ini semua adalah RI.
Apalagi melihat selera artistiknya yang sangat rendah dalam memilih pemimpin. Melihat terlalu gampangnya mereka ditipu. Terlalu rentannya terhadap disinformasi. Terlalu gampangnya untuk kagum dan terpesona. Terlalu ringkihnya ditelan oleh pencitraan. Dan terlalu kerdilnya diperdaya oleh pemalsuan.
4. Apalagi, melihat semakin lemahnya mental mereka. Melihat ringkihnya jiwa mereka. Langsung mereka dengan mudah ditelan sihir-sihir nasional dan gendang serta sirep global.
Apalagi kalau melihat sinismenya mereka yang levelnya sudah sakit jiwa terhadap kebaikan, kesucian, dan ketulusan. Tidak mungkin kayak sekarang ini adalah RI. Ini pastilah "Ma RI wa La RI".
Apalagi melihat penolakannya yang mendalam terhadap kebhinnekaan, penolakan diam-diam maupun terang-terangan. Pernyataan penerimaan yang muatannya adalah penolakan. Ekspresi kebutuhan dan kebersamaan yang ternyata isi di dalamnya adalah kebencian dan permusuhan.
Apalagi kalau kita melihat situasi semakin tidak saling percaya di antara mereka, antarmanusia, kelompok, dan lembaga-lembaga. Melihat semua orang tidak bisa lagi dipercaya karena memang setiap orang semakin tidak bisa dipercaya.
Setiap orang di panggung memegang mikrofon dan berteriak, "Saya untuk Indonesia... Saya untuk Indonesia!" Tetapi yang ia lakukan adalah Indonesia untuk saya. "Kami hati rakyat, kami bekerja utuk rakyat!" Tetapi praktik sehari-harinya merampok Indonesia untuk golongannya.
5. Apalagi melihat pemalsuannya yang habis-habisan terhadap persatuan dan kesatuan. Manipulasi pemahaman terhadap pembangunan. Tipu daya pengertian tentang kemajuan. Anak-anak cucu-cucu yang belum lahir dicampakkan ke dalam jurang utang. Undang-undang dan peraturan diciptakan untuk mempermudah dan melegalisir perampokan.
Alkisah, konon, syahdan, sebenarnya itu bukanlah RI. Itu pasti "Ma RI wa La RI".
Belum lagi tiang listrik pun dipatahkan. Ditabrakkan. Teknologi pencurian tidak terjangkau oleh ilmu dunia. Strategi perampokan tak terpahamkan oleh ilmu pengetahuan sampai garda depan.
Syariat kemunafikan, tarikat hipokresi, makrifat kemusyrikan terhadap matematika yang suci terhadap rasionalitas yang sakral tidak pernah dibayangkan atau disimulasi bahkan oleh para malaikat maupun setan.
Yang menyebut dirinya RI ini: Iblis-iblis berpakaian malaikat, setan-setan berkostum Jibril, sesekali pakai kaos oblong supaya tampak Mikail. Terkadang, pakai sandal jepit agar terlihat seperti Israfil. Dan di saat lain masuk got sehingga bagaikan Izrail.
Nilai-nilai dijungkirbalikkan, jumlah korupsinya triliunan kali lipat dibanding yang direkomendasikan para setan. Sampai akhirnya Iblis, Panglima Setan, mengajukan pensiun dini. Sebab tahu diri ukuran godaan mereka kepada manusia untuk berbuat jahat lari dan ... sudah jauh dilampaui oleh "Ma RI wa La RI". Bahkan korupsinya sudah jauh merajalela sebelum proposal Iblis diajukan kepada manusia. Jadi mustahil kalau ini RI, ini bukan RI.
Senja semakin lingsir memasuki keremangan. Pagi beranjak siang. Siang memanjat sore. Senja menyodorkan dirinya ke kegelapan tetapi fajar membuntutinya. Cahayanya semburan di kerudung rahasia. Hidup adalah bergiliran kematian diiringi menetasnya kelahiran. Kebanyakan orang hari ini berduyun-duyun memasuki kuburan zaman bersamaan dengan sedikit orang lainnya yang dilatih mempersiapkan kelahiran yang sedang berkumpul hari ini (di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta). Tetapi mereka tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada yang berani membayangkan. Tidak ada yang nekat memimpikan. Tidak ada yang melihat mereka. Tidak ada yang menemukannya, dan tidak ada yang mempercayainya. Tetapi Mahasutradara jadad raya telah melahirkannya. Telah melahirkan mereka dengan dua bekal di kandungan jiwa dan aliran darahnya, yakni mereka dilahirkan karena Tuhan mencintainya dan mereka mencintai Tuhannya.
Hakikat "Ma RI wa La RI" adalah ambruk! Syariat "Ma RI wa La RI" adalah jebol dan terpuruk! Adapun tarikat RI yang sejati adalah kelahiran! Marifat RI yang benar-benar RI adalah kebangkitan!
Kemarin malam saya sowan ke Ratu Saba di Wonosobo. Tidak diterima, melainkan yang menerima saya Jin Ifrid. Saya juga sowan ke Ratu Sima di kawah Merapi. Yang keluar menerima saya malah Basiyo. Tetapi saya tidak putus asa, saya sowan ke Bu Ken Dedes yang cantik jelita bagai ibu pertiwi, yang sepanjang hidupnya diperistri secara paksa, diperkosa secara bergiliran, bahkan sekarang diperkosa bersama-sama.
Sebagai mana nasib RI yang terlunta-lunta menjadi "Ma RI wa La RI", tetapi yang membukakan pintu Kerajaan Barzah malah Asmuni. Asmuni bin Asfandi keturunan Ki Tebuireng yang dulu dicabut ilmunya dan di-maiyah-kan Mbah Ki Rompak. Tetapi tak masalah, saya manusia RI sejati.
Profesi saya adalah memanggul masalah. SOP hidup saya adalah mengatasi masalah dengan cara menambah masalah. Regulasi utama karier saya adalah berjuang menjadi manusia masalah. Dan kewajiban utama saya adalah memilih pemimpin yang bermasalah. kemudian mencita-citakan pemimpin baru yang lebih bermasalah. Dan akhirnya mengangkat pemimpin lain lagi yang ahli masalah. Dan puncaknya nanti semua bangsa yang bukan RI ini akan melantik masalah itu sendiri menjadi pemimpin tertinggi. Jadi, perjumpaan saya dengan Jif Ifrit, Basiyo, dan Asmuni bukan masalah. Tetapi tetap saya permasalahkan.
Saya bertanya kepada Jin Ifrit, "Mas Ifrit, tolong kasih tahu apa pendapat Ratu Saba di Wonosobo tentang RI." Dan saya bertanya ke Mbah Shio, "Mbah Shio tolong kasih tahu saya apa pandangan Bu Ratu Sima tentang RI." Dan saya bertanya ke Asmuni, "Bagaimana Bu Ken Dedes melihat RI?"
Jawaban mereka bertiga sama persis ......
Tapi tiba-tiba ada suara menyusuri jawaban itu, "Antum a'lamu bi umuri duniafi." Saya kaget dan menoleh ke sumber suara itu. Ya ampun, ternyata Sunan Tuban, Syeikh Malaya, Pangeran Abdurrahman, Brandal Lukajaya saya taklim kepada beliau. "Sendiko Kanjeng Sunan," kata saya.
Beliau tidak menyambut tetapi terus menyatakan jawabannya kepada saya yang tidak saya minta. "RI yang paling tahu urusan RI. Kamu tidak begitu RI, kamu tidak tahu apa-apa tentang RI. Tidak ada gunanya RI zaman now bertanya kepada RI zaman old. RI zaman now sudah mantap dengan takabur Republiknya. RI sudah yakin dengan pura-pura Pancasilanya. RI sudah gagah perkasa dengan pemalsuan demokrasinya. Dan lagi yang bertanya kepadaku adalah kamu! Sementara RI tidak bertanya apa-apa kepadaku. RI tidak butuh pertanyaan apalagi jawaban. RI tidak punya stok pertanyaan sehingga tidak membutuhkan jawaban."
Saya mencoba membantah, "Saya bertanya sebagai RI, Kanjeng Sunan."
Sunan Kalijaga berteriak, "Tapi kan kamu bukan RI! RI tidak mengenalmu, RI tidak mendegnar suaramu, apalgi melihat wajahmu! Bagi RI kamu tidak ada! Jangankan kamu, bagi RI Tuhan pun tidak ada, yang ada adalah Ketuhanan. Bagi RI apapun saja tidak ada, kecuali nafsu dan keserakahannya sendiri. Serta barang-barang yang dirasukinya. Bagi RI tidak ada Tuhan, malaikat, ataupun nabi. Bagi RI tidak ada akal, logika, apalagi Akhlak. Bagi RI tidak ada martabat, tidak ada harga diri. Bagi RI yang ada hanya satu, 'Wani piro?'. Maka RI hingga hisab di mana saja saya dapat apa, berani kasih mahar berapa. Telinga apa saja pikirannya berkata apa untungnya untuk saya. RI adalah tanah air yang tidak bernegara. Yang ada pada RI hanya pemerintah yang dipikirnya dia adalah negara. Yang ada di RI adalah pemerintah yang berpikirnya perusahaan. Dan di dalam pemerintahan hanya ada pejabat-pejabat dengan perusahaan-perusahaan kelompok dan pribadi masing-masing yang numpang di kantor-kantor pemerintahan. Yang ada di RI adalah sindikat-sindikat sistemik, struktural, yang bekerja mengakali negara dan merampok Tanah Air. RI sudah mantab, yakin, dan gagah dengan itu semua. Tidak ada manfaatnya kamu menemui para kami leluhur. Kami para orangtua hanya mendoakan agar kalian yang berkumpul di sini tetap mengingat kami agar supaya kalian tidak hancur."
6. Tetapi saya tetap tidak berputus asa. Sehingga saya bertanya, "Sunan, sebenarnya penyakit RI apa, toh? Konsitusinya? Sistemnya? Apa manusianya?"
Brandal Lukajaya menjawab, "Manusia merusak sistemnya, sistem merusak manusia."
"Apakah itu penyakit mental, budaya, atau spritual?"
Brandal Lukajaya menjawab, "Kalau yang sakit akal pikiran, namanya gila. Kalau yang sakit mental, sakit jiwa. Kalau yang sakit budaya, namanya edan. Kalau yang sakit spiritual, namanya jahiliyah. Kalau yang kamu alami sekarang adalah pra-jahiliyah. Jahiliyah pun belum. Hewan saja tidak serakah karena alam dan makhluknya sepenuhnya diremot oleh Tuhan. Hukum rimba sangat indah ekosistemnya. Hukum rimba sangat seimbang metabolismenya. Sedangkan hukum tidak punya keseimbangan. Dan hukum negara matanya juling, kakinya pincang. Di dalam hati mereka membengkan berbagai macam penyakit, dan Tuhan menambahi penyakit-penyakit mereka, lambat atau cepat. Demi keseimbangan dan penyeimbangan. Dan balasan akan tiba pada Jakarta. Balasan berupa hidayah bagi yang siap menerima atau azab bagi penghuni zona yang nyaman dalam pengingkaran kepada Tuhannya.
"Jadi, Kanjeng Sunan, apa yang harus saya lakukan? Atau apa sekurang-kurangnya yang harus saya katakan kepada RI sekarang ini?"
Sunan mengatakan, "Sama saja bagi mereka. Kamu omongin, ulangtahun Malari, atau kamu peringatkan mereka tidak dengarkan. Mereka tidak akan percaya kepadamu."
"Jadi, bagaimana?"
"Enggak usah bagiamana-bagaimana. Mereka picek, dableg, budek, buta, tuli tidak akan bisa kembali ..."
"Sebentar Kanjeng Sunan, mereka tidak bisa kembali kemana? Atau kembali kepada apa?"
"Tidak bisa kembali ke diri, paling pol... Tidak bisa kembali ke RI."
Saya tidak mau kalah, "Tapi saya tidak, lho, Kiai Brandal. Saya bersaksi tidak ada Tuhan Selain ALLAH. Saya bersaksi Muhammad adalah Duta Besar-Nya. Saya bersaksi ini semua yang aku alami akhir-akhir ini bukan RI. Dan kemudian saya bersaksi mustahil Tuhan membiarkan ini. Mustahil semua makhluk di semua Nusantara: malaikat, jin, leluhur, wali mustahil tidak cemas. Reformasi yang sejati akan terjadi. Apapun namanya, evolusi yang dipercepat, restorasi, rekonstruksi, revolusi, apapun akan menjadi isi zaman esok hari. "Ma RI wa La RI" semakin terjun ke kegelapan malam hari dan kamu semua dan anak-anak muda yang dicintai Tuhan dan mencinta Tuhan sudah semakin siap membangkitkan pagi hari."
Comments
Post a Comment